Ketika mengajar di sekolah dasar di
pulau Gili beberapa tahun yang lalu, salah satu pulau yang sangat kecil
nan terpencil di kabupaten Gresik, saya selalu berupaya untuk mengajak
murid-murid saya ke luar pulau, khususnya ke Jawa. Tujuannya adalah
untuk membuat mereka sadar bahwa Indonesia ini jauh lebih besar dari
pulaunya, kemudian berinteraksi dengan siswa baru yang berlatar belakang
berbeda dengan mereka; agama yang berbeda, suku yang berbeda, bahasa
daerah yang berbeda, dan sebagainya. Belajar meradaptasi dan berdamai
dengan perbedaan jauh lebih penting ketimbang belajar mata pelajaran
formal di sekolah. Alasannya, mata pelajaran tersebut tidak selamanya
terpakai ketika kelas selesai, apalagi pada masa depan ketika anak-anak
telah dewasa. Misalnya, bukan hal aneh jika seseorang ketika kanak-kanak
jago biologi, tapi ketika besar suksesnya menjadi musisi; atau anak
yang nampaknya akan menjadi musisi, tetapi nyatanya menjadi politisi.
Lain halnya dengan perbedaan antar
individu. Ketidaksamaan antara diri sendiri dengan orang lain akan
selalu dialami oleh siapa pun selama dia masih bernafas dan tinggalnya
tidak menyendiri di hutan belantara. Sayangnya, jika anak-anak yang
tidak pernah diajarkan tentang aplikasi toleransi di sekolah dan di
rumah, lalu suatu ketika hidup dan berinteraksi di lingkungan yang super
heterogen, maka mereka akan merasa yang paling baik dan hebat dari yang
lain; atau sebaliknya.
Pelajaran tentang menerima perbedaan
sangat penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Memang
benar bangsa ini telah hidup selama berabad-abad dengan semangat
hormat-menghormati, bahkan sebelum kemerdekaan diproklamasikan, kita
telah memiliki bahasa pemersatu untuk menyatukan banyak suku. Bangsa ini
telah lama menerapkan management of differences atau mengelola
perbedaan, jauh sebelum demokrasi dikumandangkan dalam sistem
kenegaraan. Tapi juga perlu diingat, tak sulit kita jumpai orang yang
mulutnya menerima perbedaan dan katanya menjunjung tinggi bhineka
tunggal ika, tapi aksinya mematikan semangat toleransi.
Pesan Positif
Kembali ke persoalan mengajak anak-anak
ke luar daerah, guru sebagai pembimbing dan memimpin rombongan harus
memastikan bahwa siswa-siswa yang mereka ajak telah mengenal baik
kampung halamannya sendiri sebelum mereka pergi. Dia harus yakin bahwa
anak-anak memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang bisa dibanggakan
dari daerahnya, yang akan mereka ceritakan dengan antusias kepada
orang-orang yang mereka temui dalam perjalanannya. Jangan sampai mereka
menjadi perantau yang tak kenal tanah asalnya, sehingga mereka hanya
menganga mendengar kehebatan cerita orang, sedangkan mereka tak mampu
bercerita tentang daerah asalnya sendiri.
Prinsip di atas bukan hanya terbatas kepada anak-anak SD yang melakukan study tour
ke daerah lain, tetapi juga sangat relevan untuk mahasiswa-mahasiswa
yang sedang menimba ilmu di luar negeri. Sebagaimana kita ketahui bahwa
ribuan anak muda kita sedang dan akan belajar di universitas terkemuka
di belahan dunia yang lain. Hal ini sebuah harapan, dimana kita punya
kesempatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di lain
sisi, mereka adalah duta bangsa yang akan mengabarkan kepada bangsa lain
tentang bagaimana Indonesia sesungguhnya. Dengan demikian, mereka harus
memiliki kualitas sebagai juru bicara yang baik, yaitu mampu
menyampaikan informasi yang benar dengan cara yang tepat.
Karena mereka adalah pelajar, pesan
ke-Indonesia-an akan mereka sampaikan lebih banyak dalam suasana
akademis. Mereka akan dibawah pada situasi untuk menjelaskan masalah dan
tantangan di Indonesia dalam bentuk diskusi, presentasi, maupun essai.
Disaat itulah, mau tidak mau mereka harus berbicara tentang fakta
masalah di Indonesia, misalnya tentang kualitas literasi dan enumerasi
dibawah rata-rata, politisasi pendidikan, rendahnya kualitas guru,
kurangnya partisipasi orang tua, korupsi yang merajalela, mirisnya
sarana dan prasarana, dan lain sebagainya.
Berbicara tentang buruknya Indonesia
bukanlah sebuah hal yang terlarang, sebab tidak mungkin mereka berbicara
mengenai negara lain yang mereka tidak kenal. Selain itu, mereka bisa
mendapatkan feedback tentang solusi yang bisa diambil untuk
mengatasi persoalan yang mereka kemukakan. Namun hal yang perlu diingat
adalah selalu berhati-hati dengan generalization, yakni
seolah-olah sebuah persoalan sebagai representasi Indonesia secara
keseluruhan. Kenyataanya, Indonesia telah mencapai banyak perubahan yang
sangat besar dan pesat, misalnya telah memiliki universitas yang
berkualitas, tokoh yang berintegritas dan murid yang berprestasi, meski
di beberapa daerah kondisinya berkata sebaliknya.
Pesan positif perlu disisipkan jika
tidak ingin membuat mereka yang sebelumnya hanya tahu sedikit tentang
Indonesia, menjadi tahu lebih banyak tapi hanya yang buruk-buruknya
saja. Itulah mengapa sangat kurang adil ketika ada yang berbicara di
forum internasional dengan bahasa asing yang fasih, tapi hanya tentang
kondisi buruknya Indonesia. Mungkin itu benar, mungkin itu hasil riset.
Fakta tersebut bukan untuk ditutupi, bahkan sebaliknya, sangat bagus
untuk diungkapkan untuk membuka ruang berdiskusi. Namun jika lupa
mengingatkan audiensi bahwa informasi itu hanyalah kasuistik, dan bukan
representasi atas Indonesia secara keseluruhan, kebenaran kecil itu bisa
mengaburkan kebenaran yang lain, bahwa Indonesia nyatanya telah
mengalami banyak perubahan positif sejauh ini.
No comments:
Post a Comment